Selasa, 19 Mei 2009

Limbah di Bali

Limbah Ternak, Pencemar Terbesar Kedua di Bali

Bangli (Bali Post) -
Pada tahun 2010 bumi terancam pemanasan global secara serius. Ini akibat penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batubara) yang dapat menghasilkan Gas Rumah Kaca (GRK). Juga karena alih fungsi lahan serta kerusakan hutan. Untuk menekan ancaman itu, petani dan peternak Bali dari tiga kabupaten meliputi Bangli, Tabanan, dan Badung dijadikan percontohan pemanfaatan teknologi biogas dalam program debt for nature swap (DNS).

Program itu diresmikan Rabu (21/11) kemarin di Banjar Galiran Desa Jehem Kecamatan Tembuku, Bangli oleh Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas, Isa Karmisa Ardiputra. Pemanfaatan teknologi ini dilakukan lantaran limbah kotoran ternak di Bali masuk nominasi kedua terbesar sumber pencemaran terhadap Pulau Bali. Di samping itu, program ini merupakan salah satu syarat yang diajukan Jerman atas utang luar negeri (ULN) Indonesia 6,2 milyar euro yang terus menumpuk sejak tahun 60-an.

Sebagai syarat pengurangan utang Indonesia, Jerman mengajukan beberapa syarat pengurangan utangnya kepada Indonesia. Salah satunya harus adanya keseriusan Indonesia dalam mengelola dan menjaga lingkungan untuk mengurangi terjadinya pemanasan global. Dari 134,6 juta eoru ULN Indonesia dari Jerman, pengurangan dilakukan dari pendidikan 8,6 juta euro, kesehatan 50 juta euro, lingkungan hidup 25 juta euro terdiri dari kehutanan 12,5 juta euro dan sisanya 12,5 juta euro berupa fasilitas kredit berwawasan lingkungan, bisa dalam bentuk biogas dan lainnya.

Isa Karmisa Ardiputra mengharapkan keberadaan 3.000 unit biogas di Bali dapat menjadi alternatif sangat menarik memecahkan masalah lingkungan tanpa membebani petani atau peternak. Mengingat, limbah kotoran hewan merupakan sumber pencemaran terbesar kedua di Pulau Bali serta menjadi masalah kompleks bagi perbaikan kualitas lingkungan. Dengan teknologi biogas, pengelolaan limbah ternak akan menghasilkan energi panas dan listrik. Di samping mengurangi ketergantungan petani atau peternak terhadap minyak tanah/gas dan listrik yang terus meningkat harga jualnya.

Dalam menanggulangi terjadinya perubahan iklim, ia menyatakan sudah banyak upaya dilakukan pihaknya. Mulai dari cara sederhana berskala lokal hingga kegiatan berskala internasional. Upaya ini tidak saja tanggung jawab pemerintah, namun masyarakat secara luas. Termasuk masyarakat industri, rumah tangga, petani, peternak dan nelayan.

Dalam menanggulangi masalah perubahan iklim, katanya, pemerintah telah meratifikasi konvensi perubahan iklim (UNFCCC) dan Protokol Kyoto. Pemerintah juga telah menganjurkan kepada masyarakat untuk menggunakan energi seefisien mungkin. Saat ini bumi menghadapi masalah yang sedang menjadi perhatian serius seluruh bangsa di dunia. Terutama dampak negatif perubahan iklim. (kmb17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar